Biografi KH. Idham Chalid Sang Pahlawan dari Tanah Banjar

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

KH. Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Satui, kab. Tanah Bumbu, bagian tenggara Kalimantan Selatan, dan merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Utara, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin.
Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Selain tercatat sebagai salah satu tokoh besar bangsa ini pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, sebagian besar kiprah Idham dihabiskan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Beliau tercatat sebagai tokoh paling muda sekaligus paling lama memimpin ormas Islam yang didirikan para ulama pada tahun 1926 tersebut.
Dalam ormas berlogo bola dunia dan bintang sembilan itu, Idham menapaki karier yang sangat cemerlang hingga menjadi pucuk pimpinan. Dalam usia 34 tahun, Idham dipercaya menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Jabatan tersebut diembannya selama 28 tahun, yaitu hingga tahun 1984. Pada tahun 1984, posisi Idham di PBNU digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi terhadap partai mana pun.
Selain itu, beliau juga tercatat sebagai “Bapak” pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Setelah tidak berkiprah di panggung politik praktis yang telah membesarkan namanya, waktu Idham dihabiskan bersama keluarga dengan mengelola Pesantren Daarul Maarif di bilangan Cipete.
Semasa hidupnya, KH Idham Chalid selalu memperjuangkan idealismenya bagi kemajuan bangsa dan negara tanpa meninggalkan posisi dirinya sebagai seorang kiai. Di tengah himpitan situasi politik terutama masa Orde Baru, dia memerankan diri sebagai politisi ulung namun tetap kukuh sebagai seorang kiai.
“Dia tidak meninggalkan jati diri sebagai ulama NU. Hal ini karena dia berpolitik dilandasi ketekunan menjalankan ibadah,” lanjut Gus Yusuf.
Karena itu, Gus Yusuf tak ragu menyebut beliau sebagai pribadi yang seimbang antara kepentingan rohani dengan duniawi. “Tidak seperti politikus saat ini yang sibuk dengan urusan-urusan politik tetapi tidak menjalankan secara konsekuen ibadahnya,” kritik tokoh seniman Komunitas Lima Gunung Magelang ini. (jamaahhsu2010.blogspot.co.id)
Dari kecil beliau dikenal cerdas dan berani. Ketika masuk sekolah rakyat (SR) beliau langsung duduk di kelas 2 dan bakat berpidato beliau mulai terlihat. Keahlian berorasi itulah yang menjadi cikal bakal beliau dalam meniti karir di jagat politik.
Setelah tamat SR, beliau melanjutkan pendidikan ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah. Beliau yang saat itu masih tumbuh untuk mencari ilmu, mendapat banyak kesempatan untuk medalami Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan ilmu pengetahuan umum. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan ke Pesantren Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan belliau untuk mendalami bahasa Jepang, Jerman dan Perancis.
Beliau meninggal pagi hari tanggal 11 Juli 2010, beliau meninggal dan dimakamkan di Pesantren Darul Qur'an, Cisarua, Bogor. Beliau meninggalkan 16 anak dan 40 cucu. Putra beliau, Saiful Hadi sekarang menjabat sebagai direktur kantor berita ANTARA dan putra beliau Ainul Hadi pernah menjadi Bupati HSU.
Setahun kemudian, beliau dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan 6 tokoh lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 Nopember 2011. Beliau adalah orang Banjar ketiga yang menjadi Pahlawan Nasional setelah Pangeran Antasari dan Hasan Basry.
- dipetik tanggal 26-11-2016 pukul 09:26 WITA.

Comments

Popular posts from this blog

Figur K.H. Asmuni (Guru Danau) Amuntai

Makam Para Ulama Aulia Habaib Kab. Hulu Sungai Selatan

Manaqib KH. Anang Sya'rani Arif Al-Banjari