Figur K.H. Asmuni (Guru Danau) Amuntai
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Guru Danau - Tengah |
Guru Danau merupakan panggilan akrab atau nama populer bagi Tuan Guru Asmuni. Nama “Danau” yang dilekatkan pada dirinya sebenarnya merupakan nama singkat dari tempat kelahiran dan tempat tinggalnya, Danau Panggang. Danau Panggang merupakan salah satu Kecamatan di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara yang terletak sekitar 24 km dari kota Amuntai.
Beliau lahir pada tahun 1955 di Danau Panggang. Ayahnya bernama Haji Masuni dan ibunya bernama Hajjah Masjubah. Dia merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya berasal dari daerah Danau Panggang sedang ibunya beretnis Dayak Bakumpai berasal dari daerah Marabahan yang pindah ke Danau Panggang. Dari garis ibunya Guru Danau menjadi bagian dari zuriat Syekh Muhammad Arsyad alBanjari. Sewaktu kecil, Guru Danau bernama Zarkasyi. Oleh seorang habib yang bernama Habib Salim Mangkatip nama itu diubah menjadi Asmuni. Menurut Guru Danau, Asmuni itu berarti berharga.
Guru Danau hidup di lingkungan keluarga yang sederhana dan taat beragama. Orang tuanya dahulu bekerja sebagai buruh kapal dengan pendapatan yang pas-pasan. Pendapatan yang pas-pasan itu tidak menghalangi semangat orangtuanya untuk membiayai pendidikannya di sejumlah pesantren baik yang berada di Kalimantan Selatan maupun di Pulau Jawa. Guru Danau termasuk beruntung, karena tidak banyak orang di daerahnya yang mampu dan memiliki kesempatan untuk berangkat ke Pulau Jawa untuk belajar meski dalam waktu singkat.
Guru Danau bersama Abah Guru Sekumpul |
Guru Danau menempuh pendidikan tingkat dasar di Madrasah Ibtidaiah Pesantren Mu‟alimin Danau Panggang (tamat tahun 1971) dan Madrasah Tsanawiyah Pesantren Mu‟alimin Danau Panggang (tamat tahun 1974). Setelah itu dia meneruskan studinya di tingkat atas (aliyah/ulya) di Pesantren Darussalam Martapura (tamat tahun 1977). Selama belajar di Martapura, selain belajar di Pesantren Darussalam, Guru Danau juga belajar dengan sejumlah ulama (tuan guru) yang bertebaran di Martapura. Salah satu ulama Martapura tempatnya belajar adalah Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Ijai (w. 2005), salah satu ulama karismatik yang disebut juga dengan nama Guru Sekumpul.
Setelah tamat di pesantren Darussalam, Guru Danau sempat pulang ke kampung halamannya. Tidak lama kemudian, pada tahun 1978, atas anjuran Guru Ijai dia kembali belajar di Pesantren Datuk Kalampaian Bangil di Jawa Timur. Di sini dia belajar dengan ulama Karismatik keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yaitu Kyai Haji Muhammad Syarwani Abdan (w.1989). Sebelum ke Bangil, Guru Danau terlebih dahulu ke Wonosobo menemui para habaib yang ada di sana dan mengambil tarikat Naqsyabandiyah dari salah seorang habaib bersama dengan Habib Lutfi Pekalongan. Setelah selesai belajar di Bangil, Guru Danau tidak segera pulang, dia terus memperdalam pengetahuan agamanya dengan mengunjungi dan belajar secara singkat kepada sejumlah ulama. Salah satu diantara ulama tempatnya belajar adalah Kyai Haji Abdul Hamid Pasuruan. Kegiatan belajar singkat dengan sejumlah ulama di Jawa ini dilakukan oleh Guru Danau untuk mendapat berkah ilmu dengan bertemu dan belajar kepada mereka. Hanya saja, studi Guru Danau di Pulau Jawa terutama di Bangil tidak berlangsung lama, hanya beberapa bulan. Dia kembali ke kampung halamannya untuk membuka pengajian.
Setelah berumah tangga dan memiliki anak, aktivitas dakwahnya tidak terganggu. Malah sebaliknya, aktivitasnya semakin meningkat. Dia semakin aktif mengisi pengajian dan mengajar di pesantren. Seiring dengan itu, namanya pun semakin dikenal dan jadwal ceramahnya juga semakin padat. Di sela-sela kesibukannya itu, Guru Danau tidak lupa untuk tetap belajar. Secara rutin dia tetap mengikuti pengajian Guru Ijai di Martapura baik ketika masih di Keraton maupun setelah pindah ke Sekumpul. Guru Danau terus mengikuti pengajian Guru Ijai sampai sang guru meninggal dunia pada tahun 2005.
Ketika ingin membuka pengajian, Guru Danau terlebih dahulu meminta izin kepada Guru Ijai. Sang Guru mengizinkan dengan syarat tidak boleh bapintaan (meminta dana dari masyarakat), harus memakai halat (dinding) yang memisahkan laki-laki dan perempuan, dan harus ikhlas. Agar seorang guru dapat ikhlas mengajar, dia harus memiliki kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian ini, seorang guru dapat berkonsentrasi mengajar dan berdakwah tanpa mengharap imbalan uang.
Guru Danau membuka pengajian agama di Desa Bitin pada tahun 1978 (sebelum menikah) dan mengajar di Pesantren Salatiah. Pada tahun 1980, dia kembali membuka pengajian di kampung halamannya sendiri, Danau Panggang. Pada tahun-tahun awal, peserta pengajian Guru Danau di Bitin dan Danau Panggang tidak banyak. Bahkan, pada awal aktivitas dakwah dan pengajiannya itu, terdapat orang-orang tertentu yang tidak senang kepadanya.
Guru Danau membuka pengajian agama di Desa Bitin pada tahun 1978 (sebelum menikah) dan mengajar di Pesantren Salatiah. Pada tahun 1980, dia kembali membuka pengajian di kampung halamannya sendiri, Danau Panggang. Pada tahun-tahun awal, peserta pengajian Guru Danau di Bitin dan Danau Panggang tidak banyak. Bahkan, pada awal aktivitas dakwah dan pengajiannya itu, terdapat orang-orang tertentu yang tidak senang kepadanya.
Dia difitnah sebagai penceramah yang keras dan suka mengomel. Fitnah ini bertujuan agar orang tidak mau belajar kepadanya dan tidak mau mendengar ceramahnya. Untuk menangkal fitnah ini, Guru Danau memanfaatkan radio orari yang ramai digunakan ketika itu untuk menampilkan citra dirinya. Setelah dua bulan masyarakat mendengar ceramahnya, mereka pun menemukan gaya ceramah Guru Danau yang sesungguhnya. Ternyata Guru Danau tidak sejelek yang mereka bayangkan. Bahkan sebaliknya, mereka justru tertarik mengikuti pengajian dan ceramahnya. Setelah fitnah itu terhenti dakwah melalui radio Orari ini dihentikan seiring dengan semakin bertambahnya jamaah yang menghadiri pengajiannya hingga lama-kelamaan mencapai ribuah orang.
sumber : http://daribanuauntukbanua.blogspot.co.id/2012/12/religius-dan-islami.html |
Pada dekade 1990-an (1998), Guru Danau kembali membuka pengajian di Mabuun Tanjung (Kabupaten Tabalong). Pada awalnya, Mabuun merupakan sarang pelacuran dan perjudian. Guru Danau berusaha memberantas penyakit sosial ini dengan cara menghubungi pihak-pihak berwenang untuk menutupnya. Namun usaha ini tidak berhasil. Akhirnya, beliau membuka pengajian di tempat itu. Dengan adanya pengajian yang dihadiri oleh ribuan jamaah ini, praktik pelacuran dan perjudian itu berhenti dengan sendirinya. Pengajian di Mabuun ini kemudian menjadi pengajian Guru Danau yang terbesar karena dihadiri oleh puluhan ribu jamaah. Kuantitas jamaah yang hadir di tempat ini jauh lebih besar dibanding pengajian di Danau Panggang dan Bitin.
Dengan jumlah jamaah pengajian yang begitu banyak, tidak aneh kalau murid Guru Danau tersebar di mana-mana di Banua Anam. Murid-murid Guru Danau terutama murid-murid awalnya sangat taat dan setia kepadanya. Bahkan, sebagiannya berkhadam (berkhidmat) kepadanya dengan setia. Jika Guru Danau bepergian ke suatu tempat untuk keperluan pengajian, ceramah, ziarah atau keperluan lainnya, murid-murid dekatnya selalu mengikutinya. Karena itu, tidak mengherankan jika konvoi iringan-iringan mobil rombongan Guru Danau mencapai puluhan bahkan seratus buah mobil. Jika rombongan ini melintas, segera menjadi perhatian masyarakat karena panjangnya iring-iringan itu. Bahkan, pernah Guru Danau mencarter dua pesawat untuk mengangkut dirinya dan rombongannya menuju Jakarta.
Materi pengajian yang disampaikan oleh Guru Danau di beberapa pengajiannya meliputi materi tauhid, fiqih, tasawuf, hadis, tafsir, kisah-kisah dan lainnya. Beberapa kitab yang pernah diajarkan oleh Guru Danau di pengajiannya, diantaranya adalah Irsyad al-‘Ibad (Zainuddin al-Malibari), Nasha`ih al-‘Ibad (Nawawi al-Bantani), Muraqi al-‘Ubudiyyah (Nawawi alBantani), Risalah al-Mu’awanah (Abdullah al-Haddad), Nasha`ih al-Diniyyah (Abdullah al-Haddad), Tuhfah al-Raghibin (Muhammad Arsyad al-Banjari), Syarah Sittin (Ahmad Ramli), Tanqih al-Qawl (Nawawi al-Bantani). Dilihat dari daftar kitab yang digunakan, Guru Danau lebih banyak menggunakan kitabkitab berbahasa Arab daripada kitab Arab-Melayu. Walaupun begitu, pengajiannya tetap mudah diikuti oleh jamaah karena isi kitab-kitab itu diterjemahkan dan diberi penjelasan yang „ringan‟ oleh Guru Danau (Mujiburrahman, Abidin, & Rahmadi, 2012).
Sumber: http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=364977 (dipetik 19-09-2016 10:25 WITA)
Daftar pustaka
Mujiburrahman, Abidin, M. Z., & Rahmadi. (2012, Juli). ULAMA BANJAR KHARISMATIK MASA KINI DI KALIMANTAN SELATAN: Studi Terhadap Figur Guru Bachiet, Guru Danau, dan Guru Zuhdi.Peneliti Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin, 1-31.
Comments
Post a Comment
Terima kasih pian berkomentar