Manaqib Al-Quthub Habib Hamid bin Abbas Bahasyim r.a (Habib Basirih)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Al-Quthub Habib Hamid bin Abbas Bahasyim atau lebih dikenal dengan sebutan “Habib Basirih” adalah seorang ulama Banjar yang merupakan dzuriat Rasulullah SAW. Adapun Nasab Habib Basirih adalah sebagai berikut: Hamid bin Abbas bin Abdullah bin Husin bin Awad bin Umar bin Ahmad bin Syekh bin Ahmad bin Abdullah bin Aqil bin Alwi bin Muhammad bin Hasyim bin Abdullah bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad AlFaqih bin Abdurrahman bin Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath (keturunan generasi ke-16 dari Rasulullah Muhammad SAW).  
        Konon, antara Habib Basirih dengan salah satu wali songo, Sunan Ampel (Raden Rahmat), masih ada hubungan kekeluargaan. Sama-sama keturunan dari Waliyullah Muhammad Shahib Mirbath, keturunan generasi ke-16 dari Rasulullah Muhammad SAW.
       Kedua tokoh ulama besar di zamannya ini, bertemu pada Alwi Umul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Sunan Ampel jalur putra Alwi Umul Faqih yang bernama Abdul Malik sedang Habib Basirih jalur putra Alwi Umul Faqih yang bernama Abdurrahman. Lalu, jika Sunan Ampel adalah keturunan ke 23 dari Rasulullah Muhammad SAW, maka Habib Basirih merupakan keturunan ke-36.
       Leluhur Bahasyim di Banjar adalah Habib Awad bin Umar. Habib Awad bin Umar adalah keturunan ke-32 dari Rasulullah Muhammad SAW. Tak ada keterangan jelas perihal asal usul dan di mana Habib Awad tinggal selama hidupnya. Apakah beliau kelahiran Hadramaut (Yaman) atau ada pendahulunya yang berdiam di salah satu daerah di negeri ini dan kemudian hijrah ke nusantara.
      Satu versi menyebut Habib Awad masuk ke Banjar lewat Sampit, Kalteng. Keterangan anggota keluarga Bahasyim lainnya menyebut bahwa Habib Awad bermakam di Bima, Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu antara Bahasyim di Banjar dengan Bahasyim di Bima ada pertalian persaudaraan. Satu versi lain menyebutkan bahwa salah satu cucu Habib Awad bin Umar ada yang hijrah ke Bima dan kemudian menurunkan keluarga besar Bahasyim di Bima. Tapi sebagian besar anggota keluarga Bahasyim berpandangan bahwa Habib Awad adalah Bahasyim tertua (paling awal) yang datang ke Tanah Banjar.
      Nama Basirih bersinar tak lepas dari sosok Habib Hamid Basirih. Beliau pernah berkhalwat (mengurung diri dan melakukansejumlah amalan) sekian tahun di dalam sebuah rumah (gubuk)kecil tak jauh dari makamnya sekarang. Menurut MuhammadHusin bin H.Kasan (alm.) yang pernah mengunjungi bahwa, Habib Basirih hanya makan sekepal nasi dan segelas kopi di dalam sebuah Kelambu Kuning. Pada zaman Jepang, Habib Hamid Basirih keluar dari khalwatnya.
      Sejumlah kelakuan aneh beliau, belakangan dipahami sebagai karomah kewalian beliau, yakni menyelamatkan orang lain. Suatu kali, misalnya, dengan menggunakan gayung, Habib Hamid memindahkan air dari satu tempat ke tempat lain. Orang-orang menilai pekerjaan itu sebagai perbuatan tak bermakna. Padahal, itu adalah cara Habib Hamid Basirih menyelamatkan kapal penumpang yang nyaris karam di lautan luas. Sebab di belakang hari ada orang datang ke rumah beliau dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan Habib Basirih waktu kapal mereka hampir karam di tengah laut.
     Karomah Habib Hamid Basirih lainnya adalah beliau pernah duduk di atas tanggui (penutup kepala berbentuk bundar terbuat dari daun nipah) menyeberangi Sungai Basirih menengok keponakannya Habib Ahmad bin Hasan bin Alwi bin Idrus Bahasyim (Habib Batilantang).
     Beberapa wanita tua di Basirih mengungkapkan pernah diajak orangtuanya berziarah ke Habib Basirih ketika beliau hidup untuk minta ‘berkah’. Beberapa orang tua meminta air kepada Habib Basirih dengan hajat agar anak-anak mereka pandai mengaji. Setelah diberi ‘air tawar’ anak-anak kecil mereka pun lancar membaca Kitab Suci AlQur’an.
     Habib Hamid Basirih banyak mengungkapkan sesuatu dengan bahasa perlambang (isyarat). Hanya segelintir orang yang paham dengan perkataannya.
Muhammad Husin bin H.Kasan (alm.) pada tahun 1965 pernah ke tempat Habib Basirih, ketika itu melihat Habib Basirih sedang membaca koran namun dengan cara tidak lazim, yakni korannya dibaca terbalik. Saat itu Habib Basirih bergumam bahwa raja akan digulingkan. Ternyata memang benar, tak lama kemudian Presiden Soekarno akhirnya lengser dari jabatannya sebagai seorang Presiden, setelah peristiwa G/30/S PKI.
Begitu pula, Aluh Fatimah binti H.Kasan (alm.) dari Sungai Jingah, pernah bertanya kepada Habib Basirih, Apakah pergi ke Balikpapan atau menetap di Banjarmasin saja?. Habib Basirih minta pensil dan kertas lalu menggambar sebuah Kapal sedang melabuh jangkar. Kemudian hal itu dimaknai bahwa Aluh Fatimah sebaiknya menetap di Banjarmasin saja. Dan Alhamdulillah setelah menetap di Banjarmasin, beliau dapat berhaji ke Mekkah.
Demikian pula, “Waktu kecil saya pernah diberi gulungan benang layang-layang,” ujar Habib Abdul Kadir bin Ghasim bin Thaha Bahasyim, 86 tahun. Gulungan benang layang-layang itu kemudian dipahami oleh Habib Abdul Kadir sebagai perjalanan hidupnya yang sepanjang tali benang layang-layang. HabibAbdul Kadir bekerja di kapal dagang dan berlayar mengarungi berbagai penjuru wilayah pedalaman Kalimantan.
     Pada masa penjajahan Jepang, suatu hari datang seorang Jepang menemui Habib Basirih. Si Jepang kemudian berjanji setelah urusannya di Makasar selesai akan kembali membawa Habib Basirih ke rumah sakit jiwa. “Pesawat orang Jepang itu jatuh dalam perjalanan ke Makassar,” ujar Syarifah Khadijah binti Habib Hasan Bahasyim, 70 tahun, cucu Habib Basirih.
     “Selesai berkhalwat di sebuah rumah kecil, Habib Basirih naik ke rumah ini,” ujar Syarifah Khadijah. Kenang-kenangan fisik yang tersisa dari Habib Basirih yang bisa disaksikan adalah foto beliau bersama anak cucunya pada tahun 1949, beberapa waktu sebelum beliau berpulang ke rahmatullah.
“Waktu ditawari difoto Habib Basirih cuma tersenyum, menolak tidak, mengiyakan tidak. Tukang fotonya namanya Beng Kiang,” tutur Syarifah Khadijah.

Comments

Popular posts from this blog

Figur K.H. Asmuni (Guru Danau) Amuntai

Manaqib KH. Anang Sya'rani Arif Al-Banjari